Pengawasan Eksternal Mahkamah Konstitusi
Lembaga negara yang berintegritas adalah ekspektasi yang terus diperjuangkan. Namun, lembaga negara, tetaplah dijalankan oleh manusia yang tak luput dari kesalahan dan pelanggaran yang dilakukan. Sehingga, terhadap lembaga negara diperlukan kehadiran pengawas untuk mengawasi pelaksanaan kewenangannya.
Pengawasan adalah bentuk untuk menjaga penyelenggara negara tetap berpedoman pada etika dan perilaku yang telah ditetapkan. Umumnya, setiap lembaga negara memiliki organ pengawas internal dan organ pengawas eksternal. Organ pengawas internal adalah organ struktural yang terdapat di dalam lembaga negara yang diawasi. Misalnya, Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Adapun organ pengawas eksternal merupakan lembaga negara yang berdiri sendiri di luar lembaga yang diawasi. Misalnya, Hakim Mahkamah Agung (MA) dan Hakim di bawah Mahkamah Agung diawasi oleh Komisi Yudisial.
Untuk Mahkamah Agung, di samping memiliki organ pengawas eksternal, juga memiliki organ pengawas internal.
Berdasarkan contoh lembaga KPK dan MA tersebut, dapat dipahami bahwasanya terdapat lembaga negara yang diawasi oleh organ internal saja dan ada pula yang diawasi oleh organ eksternal.
Secara historis, pemberlakuan pengawasan secara eksternal terhadap MA dilatarbelakangi oleh maraknya mafia peradilan yang terjadi. Pengawasan internal dipandang tidak cukup ampuh untuk benar-benar menegakkan integritas dan marwah pengadilan. Pengawasan internal juga diduga tidak dapat independen dalam menegakkan kode etik dan perilaku hakim.
Sehingga, dibentuklah Komisi Yudisial (KY) sebagai organ pengawas eksternal KY pada tahun 2004 melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (UU 22/2004).
Mengapa Mahkamah Konstitusi tidak diawasi Komisi Yudisial?
Pada saat awal berdirinya KY, lembaga negara yang menjadi objek pengawasan adalah Hakim MA dan di bawahnya serta Hakim Konstitusi atau Hakim Mahkamah Konstitusi. Hal ini sebagaimana Pasal 21 UU 22/2004 disebutkan bahwa KY bertugas mengusulkan penjatuhan sanksi terhadap hakim kepada Pimpinan MA dan Pimpinan MK. Ketentuan tersebut mengamini bahwa KY memiliki kewenangan untuk mengawasi MK.
Namun melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006, kewenangan KY tersebut dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat lagi. Konsekuensi yuridisnya, KY tidak memiliki kewenangan lagi untuk mengawasi MK. MK tidak lagi memiliki pengawas eksternal untuk menegakkan kode etik dan perilaku hakim.
Keadaan ini bukanlah hal yang baik, mengingat mekanisme pengawasan eksternal tetap dibutuhkan untuk menjamin penegakan kode etik hakim yang independen dan berintegritas. Pengalaman buruk pada MA sebelumnya, harusnya dapat menjadi pedoman pembelajaran yang baik, karena MA dan MK sama-sama termasuk rumpun yudikatif yang kebutuhannya hampir sama.
Siapa yang mengawasi kode etik dan perilaku Hakim Konstitusi sekarang?
Sebagai lembaga yang sudah tidak diawasi oleh KY, MK dalam menegakkan etik hakim konstitusi dilakukan oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK).
Terkait MKMK ini diatur secara lebih rinci di dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 1 Tahun 2023 (PMK 1/2023). Dalam pengertiannya, MKMK dipahami sebagai perangkat yang dibentuk oleh MK untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran, martabat, serta kode etik dan perilaku hakim.
Pasal 4 PMK 1/2023 mengatur keanggotaan MKMK yang terdiri dari 3 orang yang meliputi 1 orang hakim konstitusi, 1 orang tokoh masyarakat, dan 1 orang akademisi yang berlatarbelakang di bidang hukum. Keanggotaan MKMK ini bersifat Ad Hoc atau diangkat secara tetap untuk masa jabatan 3 tahun.
Keanggotaan MKMK tersebut ditentukan melalui RPH. Apa itu RPH? RPH singkatan dari Rapat Permusyawaratan Hakim. RPH adalah rapat yang dilaksanakan untuk menentukan Hakim Konstitusi sebagai Anggota MKMK atau hal-hal lain.
Selanjutnya, ketika seluruh atau 9 Hakim Konstitusi adalah berkedudukan sebagai terlapor semua, maka keanggotaan RPH ditentukan melalui RPH.
Dipilih untuk memeriksa dan memutus pelanggaran Hakim Konstitusi
Melihat bagaimana keanggotaan dan cara pengangkatan MKMK, kita akan melihat mekanisme yang aneh.
Keanggotaan MKMK dipilih dan diangkat oleh Hakim Konstitusi untuk memeriksa dan memutus pelanggaran yang diduga dilakukan oleh Hakim Konstitusi.
Bagaimana anggota MKMK diangkat dan dipilih untuk memeriksa dan memutus terkait pelanggaran, sedangkan pihak yang hendak diperiksa adalah pihak yang memilih dan mengangkatnya. Apakah bisa dijamin kemerdekaannya dalam menjalankan wewenangnya.
Dengan ini lazim apabila kita semua mempertanyakan imparsialitas dan independensi anggota MKMK dalam memutus dan memeriksa dugaan pelanggaran oleh Hakim Konstitusi.
Perlu perbaikan pengawasan terhadap Hakim Konstitusi
Mekanisme yang saat ini masih digunakan perlu diperbaiki. Agar kepercayaan masyarakat terhadap MKMK dan MK sendiri bisa terjaga. Mengingat, MKMK ini salah satu tujuannya adalah menjaga kehormatan hakim dan kepercayaan masyarakat terhadap kelembagaan MK.
Menurut pandangan saya, yang harus dilakukan adalah memberikan kewenangan kepada organ eksternal untuk melakukan pengawasan terhadap Hakim Konstitusi. Organ yang berdiri sendiri dan tidak diangkat serta dipilih oleh pihak yang akan diawasi. Hal ini agar pengawas tidak memiliki beban dan dapat independen secara konsisten dalam menjalankan wewenangnya.
Untuk sementara ini, menurut pendapat saya yang berwenang untuk mengawasi etika dan perilaku Hakim Konstitusi adalah KY.
Dengan memberikan kesempatan dan kewenangan kembali kepada KY untuk menegakkan etik Hakim Konstitusi, maka kita akan melihat organ pengawas eksternal.
Bagaimana dengan organ pengawas internal MK? Apakah ditiadakan?
MKMK yang bertindak sebagai organ pengawas internal tetaplah dibutuhkan. Namun yang perlu dievaluasi adalah sifatnya. Berdasarkan Pasal 4 ayat (2) PMK 1/2023 diatur bahwasanya keanggotaan MKMK dapat bersifat alternatif yaitu dapat bersifat tetap dengan masa jabatan 3 tahun atau bersifat sementara atau ad hoc. Bagian ini yang perlu dievaluasi.
Memberikan opsi sifat dan bentuk dari keanggotaan MKMK membuka peluang terjadinya kepentingan transaksional sesuai permintaan Hakim Konstitusi melalui RPH. Bisa jadi, keanggotaan MKMK cenderung dibentuk secara ad hoc ketika terdapat laporan yang dianggap merugikan kedudukan Hakim Konstitusi.
Sehingga, MKMK ini perlu dipertegas menjadi bersifat tetap dengan durasi masa jabatan yang jelas. Seperti halnya Dewan Pengawas KPK yang menjabat selama 4 tahun dan dapat dipilih kembali untuk 1 periode lagi sebagaimana diatur dalam Pasal 37A ayat (3) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019.
Penutup
Mekanisme pengisian MKMK sebagai pengawas internal MK sangat berpotensi kehilangan indepedensi dan impasialitas dalam menjalankan kewenangannya. Perlu adanya penyusunan ulang bagaimana seharusnya Hakim Konstitusi diawasi.
Pertama, dengan menghadirkan kembali KY sebagai pengawas eksternal MK.
Kedua, mengubah MKMK bersifat tetap dengan durasi masa jabatan yang ditentukan.