Belakangan masyarakat Indonesia sering kali dibuat kecewa oleh aparat. Pasalnya dari kasus kecil sampai kasus yang besar, baru akan ditindak sesuai prosedur yang berlaku ketika kasus tersebut viral di media sosial. Masalah inilah yang kemudian melahirkan slogan “No Viral No Justice”.
No Viral No Justice apabila diartikan secara bebas maka maknanya adalah tidak viral tidak ada keadilan. Lahirnya slogan ini tentu tidak lepas dari kurang optimalnya aparat kepolisian khususnya dalam menindak suatu kasus yang dialami oleh masyarakat kecil biasa.
Salah satu contoh yang dapat diambil adalah kejadian yang memilukan korban perkosaan. Korban diduga diperas, dianiaya, dan bahkan dipaksa untuk minta maaf. Namun, kasus yang diangkat ini adalah kasus yang dilakukan oleh instansi kejaksaan.
Kasus ini baru mendapatkan perhatian ketika telah ramai atau viral di media sosial. Pola yang seperti inilah yang meciptakan paradigma masyarakat kita bahwa tidak akan ada keadilan jika belum viral. Tidak ada gunanya melapor aparat keadilan. Tidak ada yang optimal.
Miris, mengingat Indonesia adalah negara yang telah lama merdeka. Status merdeka ini diperjuangkan salah satu harapannya adalah adanya keadilan bagi masyarakat. Namun, sayang sekali itu tidak didapatkan, bahkan setelah merebut status merdeka sejak setengah abad lebih yang lalu.
Kasus Pandawara Group Ditolak Kepala Desa
Belakang juga viral, tetapi bukan soal keadilan, lebih ke soal kinerja pemerintah yaitu, terkait Pandawara Group. Bagi pengguna TikTok pasti sudah cukup kenal dengan akun bernama Pandawara Group. Pandawara Group adalah komunitas yang terdiri dari beberapa remaja yang sering membuat konten tentang pembersihan lingkungan.
Banyak kontennya yang berhasil FYP (for your page) di TikTok. Ini menjadikan Pandawara Group semakin viral dan dikenal. Yang dipermasalahkan adalah model konten beberapa waktu terakhir yang memberikan peringkat terhadap pantai terkotor di Indonesia.
Beberapa pantai yang telah ditetapkan sebagai pantai terkotor sebelumnya sudah dilakukan. Namun yang sedikit menjadi polemik adalah ketika Pandawara Group menetapkan Pantai Cibutun Loji Sukabumi sebagai pantai terkotor ke 4. Pihak yang menolak adalah kepala desa setempat.
Apakah Pandawara Group hanya menetapkan penghargaan sebagai pantai terkotor kemudian pergi?
Jawabannya TIDAK. Pandawara Group justru mengajak masyarakat untuk melakukan bersih-bersih.
Hanya pejabat aneh yang kemudian menolak masyarakatnya aktif melakukan hal baik. Termasuk terkait masalah lingkungan yang menjadi konsentrasi seluruh pemimpin dunia saat ini.
Sederhana saja, pejabat itu dengan sendirinya menjadi panutan dalam melakukan hal baik. Bukan justru mengajak ke hal yang buruk. Nah, ketika ada masyarakat yang peduli dan berinisiatif untuk melakukan hal baik, NORMALnya pejabat setempat pasti mendukung dong. Masak iya nolak. Sangat tidak masuk akal.
Apakah malu karena selama ini kinerjanya disebut buruk?
Jadi pemimpin dan pejabat itu harus siap dikritik. Mandat jabatan tersebut dari rakyat. Dan situ juga masih rakyat. Harusnya aspirasi dan harapan masyarakat bisa ditampang dengan baik. Bukan malah alergi dengan kritik.
Kalau tidak kuat dan tidak mau dikritik ya silahkan jangan mendaftar jadi pejabat. Atau jika ketika masih menjabat dan kemudian tidak kuat akan kritik rasional yang disampaikan rakyatnya ya letakkan jabatan itu, mundur.
Harusnya kritik dari masyarakat dapat menjadi cara bagi pejabat untuk segera mengevaluasi diri dan kinerjanya. Dengan begitu masyarakat akan suka dengan kinerjanya. Kan itu umumnya yang diinginkan pejabat, disukai masyarakat.
Oke, lanjut lagi ke masalah Pandawara Group tadi. Rencananya Pandawara Group hendak melakukan bersih-bersih pantai dengan masyarakat pada 6-7 Oktober 2023. Namun dikutip dari Republika, TNI, Kepolisian, dan Pemda telah memulai bersih-bersih pantai dimulai 4-7 Oktober 2023 dalam rangka HUT TNI. Artinya, pemerintah dan instrumentnya lebih dahulu membersihkan pantai dari jadwal yang direncanakan Pandawara Grorup.
Lagi-lagi, bagi masyarakat biasa yang ingin melihat pemerintahnya bekerja dengan maksimal harus terlebih dahulu viral. Tanpa viral kinerja pemerintah akan begitu-begitu saja. No Viral No Justice. Tidak viral artinya kinerja pemerintah lamban dan tak berkualitas.
Harus diakui memang, dengan adanya media sosial seperti saat ini, akses informasi semakin terdemokrasi. Semua bisa dapatkan informasi tentang kinerja baik buruknya pemerintah. Sehingga, fungsi pengawasan oleh lembaga legislatif yang kadang tidak dapat ditemukan solusi jangka pendeknya, yaitu viral.
Lho kok jangka pendek? kenapa gak jangka panjang?
Ya, karena yang menjalankan fungsi pengawasan itu adalah lembaga legislatif seperti DPR, DPD, DPRD di masing-masing tingkatan.
Merekalah yang dibayar dengan uang rakyat untuk memperjuangkan aspirasi dan keadilan rakyat di hadapan penguasa. Mereka yang punya kewenangan. Dan mereka jugalah yang seharusnya juga membenahi dan mengevaluasi diri atas kinerjanya yang jauh dari kata baik.
Penutup
Jadi istilah-istilah no viral no justice yang artinya tidak viral maka tidak ada keadilan adalah konsekuensi atas kinerja pejabat yang tidak maksimal. Kritik seperti ini adalah lumrah dalam demokrasi. Anda harus rela mendengarkan kritik yang tidak mengenakkan hati, karena itu adalah salah satu manifestasi dari demokrasi.
Silahkan aparat penegak dan juga pemerintah serta lembaga-lembaga lainnya harus lebih profesional dan maksimal dalam menjalankan kinerjanya. Jangan nunggu viral baru kerja. Ingat setiap rupiah yang kalian makan adalah hasil keringat yang dibayarkan oleh rakyat.